Surat Terbuka: Di Antara Ketakutan Menjadi Miskin dan Kehinaan Menjadi Serakah
Kepada kita semua, Baik yang sedang menghitung sisa tabungan di meja makan, maupun yang sedang menghitung profit di gedung pencakar langit.
Di ambang tahun-tahun yang diprediksi penuh badai ini, mari kita berhenti berlari sejenak.
.
Tulisan yang mendasari surat ini adalah :
https://trakteer.id/annasahmad/showcase/mati-dalam-keadaan-kaya-adalah-memalukan-XderR
.
.
Kita hidup di zaman di mana Bill Gates pernah menampar kesadaran kita dengan kalimat tajam:
"Lahir miskin bukan salahmu, tapi mati miskin adalah salahmu."
.
Kalimat ini telah lama menjadi bensin bagi mesin kehidupan kita. Kita bekerja keras, banting tulang, menukar waktu tidur dengan lembur, dan menukar kesehatan dengan gaji. Kita ketakutan. Kita takut menjadi "salah". Kita takut masuk dalam statistik mereka yang gagal.
.
Namun hari ini, realitas tidak sesederhana itu. Banyak dari kita, kelas menengah pekerja keras, kini tersudut ke tembok "Mantap, Maut, dan Mampus". Tabungan dimakan bukan untuk gaya hidup, tapi untuk bertahan hidup. Utang diambil bukan untuk kemewahan, tapi untuk menambal lubang kebutuhan.
.
Ketika "tidak mati miskin" menjadi perjuangan yang berdarah-darah karena sistem yang tidak memihak, apakah itu masih sepenuhnya salah kita?
.
Dan di sisi lain bukit, Kepada saudara-saudaraku yang telah memenangkan permainan ekonomi, yang berada di puncak 1%, dengarkanlah bisikan dari Dato Sri Tahir:
"Mati dalam keadaan kaya adalah memalukan."
.
Jika Gates mengajarkan kita cara bertahan hidup, Tahir mengajarkan kita cara memberi makna pada hidup.
.
Mempunyai harta yang menumpuk hingga ke langit tidaklah berdosa. Yang berdosa adalah ketika tumpukan harta itu menjadi bendungan yang menahan air kehidupan bagi mereka yang kehausan di bawahnya.
Sungguh sebuah ironi yang menyedihkan jika kita mati-matian menghindari "mati miskin" (seperti kata Gates), hanya untuk berakhir "mati dalam kehinaan" (seperti kata Tahir) karena kita memeluk erat kekayaan itu sampai napas terakhir, tanpa sempat membaginya.
.
Sebuah Titik Temu
Mungkin, inilah saatnya kita mendefinisikan ulang tujuan hidup kita menjelang 2026.
.
Mari berjuang sekuat tenaga untuk tidak mati miskin—bukan demi kesombongan, tapi agar kita punya daya. Agar kita tidak menjadi beban. Agar kita mandiri.
.
Namun, begitu daya itu ada di tangan, ingatlah bahwa itu hanyalah titipan. Jangan bawa daya itu mati. Lepaskanlah. Putar kembali ke bawah. Bantu mereka yang sedang terjepit fase "Maut" agar tidak jatuh ke fase "Mampus".
Karena pada akhirnya, kain kafan tidak memiliki saku. Mati miskin mungkin sebuah kesalahan strategi, tapi mati dengan menimbun kekayaan di tengah orang yang kelaparan adalah kegagalan hati nurani.
Mari menjadi kaya yang bijak. Kaya di dunia, tapi "habis" saat berpulang—karena semuanya telah dititipkan kembali pada kemanusiaan.
Salam hormat,
Seorang kawan yang sedang merenung.
.
PS. Tulisan yang mendasari surat ini adalah :
https://trakteer.id/annasahmad/showcase/mati-dalam-keadaan-kaya-adalah-memalukan-XderR

Gabung dalam percakapan